Home » Komunitas Bermain Yogyakarta: Nostalgia dan Hiburan Melepas Penat

Komunitas Bermain Yogyakarta: Nostalgia dan Hiburan Melepas Penat

Work-life balance telah menjadi motto hidup Generasi Z, terutama bagi mereka yang telah bekerja. Tetap aktif melakukan hobi membuat mereka lebih menikmati hidup tanpa stres. Selain itu, bagi sebagian orang bertemu dengan teman dapat menjadi dopamine boost. 

Komunitas Bermain Yogyakarta dapat menjadi pilihan kamu yang sumpek dengan rutinitas kerja. Komunitas ini pertama kali muncul di Jakarta pada Agustus 2024. Saat itu, mereka berkumpul dan memainkan permainan tradisional khas Betawi di kompleks Gelora Bung Karno. Atas antusiasme masyarakat yang membludak, komunitas bermain mulai merambah di kota lain. Komunitas ini terbentuk sebagai wadah nostalgia dan hiburan melepas penat sesuai bekerja. 

Tak hanya sebagai agenda hiburan selepas kerja, Komunitas Bermain Yogyakarta juga menjadi wadah melestarikan permainan-permainan tradisional yang mulai tergeser dan terlupakan. Di era sekarang, permainan seperti layangan, tarik tambang, bentengan, gobak sodor, dan lainnya memiliki sedikit peminat. Anak-anak yang seharusnya menjadi pelestari budaya—termasuk permainan—justru lebih tertarik dengan gim daring di gawai masing-masing.

Advertisements

Sebagai sebuah wadah nostalgia, Komunitas Bermain Yogyakarta memiliki ‘struktur’ yang mengingatkan kita dengan masa kecil. Layaknya sekolah, komunitas ini memiliki ketua kelas dan wakil ketua kelas. Akrab disapa Nabil, sang ketua kelas bertugas untuk mengoordinasi aktivitas di Kelompok Bermain Yogyakarta. Apabila ia sedang mangkir atau sakit, Risyad atau Icad sang wakil ketua kelas akan menggantikannya.

Nabil menuturkan bahwa kegiatan bermain komunitas biasanya diselenggarakan di Alun-alun Kidul pada akhir pekan. Sesi bermain biasanya dimulai pada pukul 3 sore hingga pukul 8 malam.

Dalam satu sesi bermain, terdapat lebih dari 15 orang yang bergabung. Mereka tidak hanya melakukan satu jenis permainan saja dalam satu sesi. Komunitas menyediakan beberapa jenis permainan, seperti lompat karet, congklak, dan bekel. Sering kali, aktivitas mereka menarik perhatian pengunjung lainnya.

“Pernah sekali ada seorang Bapak dan Ibu yang ikut bermain. Bahkan mereka juga mengajak dan mengajari anaknya,” ujar Nabil.

Dalam menjalankan Komunitas Bermain Yogyakarta, Icad mengatakan bahwa masih terdapat kendala yang mereka hadapi. Komunitas yang mereka jalani masih terhitung kecil sehingga inventarisasi mainan masih belum terkoordinasi. Selain itu, mereka harus berhati-hati dalam bermain di ruang publik agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung lain.

Bagi Nabil dan Icad, bermain dengan komunitas menjadi salah satu cara agar kita kembali menjadi ‘manusia’. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat terlepas dari kontak dengan manusia lain. “Dengan permainan kita bisa menyatukan perbedaan-perbedaan di antara kita dengan kekeluargaan dan kebersamaan,” pungkas Nabil.

Kamu bisa follow akun Instagram Komunitas Bermain Yogyakarta di @komunitasbermainyk untuk ikuti kegiatan mereka!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *