Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang (Disbudpar Kota Semarang) menghadirkan kembali pameran budaya Upakarya Semarang #2 2025 yang kali ini digelar di Teman Lama, kawasan Kotabaru, Yogyakarta, pada 5–9 Agustus 2025. Pameran ini ikut membersamai Rakernas Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)
Dengan mengusung semangat “Rumah Semarang”, pameran ini menandai relasi panjang dan erat antara Kota Semarang dan Kota Yogyakarta. Dalam sambutannya, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menyambut hangat kehadiran rombongan dari Kota Semarang dan menyebut kolaborasi ini sebagai bentuk perjumpaan ulang dalam bingkai memori kolektif dua kota bersejarah.
“Pameran ini pun seperti kenangan yang hidup kembali. Kami menyambut baik inisiatif ini karena pameran ini bukan hanya tentang artefak, tapi juga tentang cerita dan sejarah yang mempertemukan kita,” ujar Yetti.
Pameran ini terbuka untuk umum setiap hari pukul 10.00–21.00 WIB. Pameran menyuguhkan agenda pendamping seperti tur kuratorial.
Pameran Upakarya Semarang di Teman Lama membawa kisah jalur gula ini sebagai pembuka. Melalui ruang kuratorial bertajuk “Rumah Semarang”, pengunjung diajak menelusuri arsip, kartu pos, surat-surat, dan artefak lainnya yang menjadi bagian dari narasi budaya Semarang.
Lebih dari sekadar mengenang masa lalu, pameran ini juga menghidupkan kembali memori budaya yang pernah berkembang di kedua kota.
“Warisan budaya tidak hanya untuk dilestarikan, tetapi juga untuk dihidupkan. Termasuk bagaimana bangunan-bangunan cagar budaya di Kotabaru bisa dimanfaatkan untuk aktivitas kreatif seperti pameran ini,” tambah Yetti.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, mengungkap Upakarya Semarang edisi ke-2 di Yogyakarta ini menjadi salah satu yang paling simbolik karena menggali kembali sejarah relasi ekonomi dan budaya antara Semarang dan Yogyakarta.
“Relasi dua kota ini dulunya sangat kuat, terutama melalui perdagangan gula. Jogja memproduksi, Semarang mengekspor. Tapi konektivitasnya baru benar-benar terwujud saat jalur kereta api Semarang–Yogyakarta dibuka tahun 1905,” jelas Wing.
Jalur Semarang–Yogyakarta melalui Magelang yang diresmikan pada 1905 membentang sejauh 121 km. Dibandingkan jalur lama via Surakarta, jalur ini memangkas perjalanan hingga 80 km. Perjalanan kereta api pun menjadi lebih efisien, hanya sekitar 4 jam, dan membuka arus perdagangan yang lebih aktif, terutama untuk komoditas ekspor seperti gula.
Antara 1870 hingga 1930, wilayah Yogyakarta menjadi salah satu sentra industri gula dengan setidaknya 19 pabrik aktif. Produk gula dari Jogja diangkut ke Semarang melalui jalur kereta untuk kemudian diekspor melalui Pelabuhan Semarang, dengan perusahaan-perusahaan seperti Oei Tiong Ham Concern (OTHC) di Oudestad atau Kota Lama Semarang sebagai aktor utama perdagangan internasional.
Karenanya, lanjut Wing, relasi Semarang dan Jogja tak hanya sejarah dan ekonomi, tapi juga dalam hal sosial dan toleransi.
“Semarang adalah Indonesia kecil. Etnis Tionghoa, Arab, Jawa, semua punya ruang yang sama. Yang utama adalah prestasi dan kontribusinya bagi kota,” ujarnya.
Wing menambahkan, kerja sama antar kota dalam memperkuat identitas budaya dan mengembangkan kawasan pusaka sangat dibutuhkan. Karenanya pameran kali ini juga menjadi bagian dari gerakan mendorong kota-kota di Indonesia agar menjadi ruang ziarah budaya yang aktif, edukatif, dan partisipatif.
“Kami belajar banyak dari Jogja—terutama bagaimana menata ruang publik dan menjaga keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan budaya. Ini adalah proses saling menginspirasi,” ungkap Wing.
Pada pembukaan kali ini ikut hadir Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang Affan Prapanca yang juga Palembang saudara lamanya Semarang.